Beberapa malam yang lalu, saya iseng ngambil sebuah buku yang sudah agak berdebu dari rak. Hampir setahun saya nggak pernah lagi bercerita, mencorat-coret, dan berkeluh kesah pada sebuah buku yang sudah lusuh. Catatan harian atau diary, begitu kita biasa menyebutnya. Mengapa saya bisa selama itu tidak menggoreskan pena lagi di atasnya ? Entahlah, saya pun nggak mengerti kenapa. Saya tetap menulis, tapi memang tak lagi di buku diary itu. Tapi kelusuhan sang diary justru mengusik memori saya agar kembali bercengkerama dengannya. Rasanya tangan ini gatal untuk bercerita, terkadang menulis sambil tersenyum, bersama diary.
Saya pernah mencoba mengganti kebiasaan menulis diary secara manual (di buku)
dengan menulis diary di komputer. Sempat beberapa bulan kebiasaan tersebut
berlangsung. Tapi saya nggak menemukan jiwanya. Rasanya, menulis dengan pulpen
itu lebih mengalirkan emosi ke tulisan yang kita bubuhkan di diary. Setelah
saya baca ulang, kesannya memang berbeda antara tulisan di buku dengan tulisan
yang dibuat di komputer.
Bagi mereka yang keranjingan menulis diary, pasti paham betul bahwa diary bukanlah sekadar kumpulan kertas. Diary seperti lukisan yang bisa bercerita tentang sebuah peristiwa di masa lalu. Saya bisa saja tersenyum ataupun sedih saat membaca tulisan-tulisan yang pernah saya buat di diary.
Nah, lalu apa motif sebenarnya dari seseorang yang gemar menulis diary ? Beberapa teman yang dulu pernah saya tanyakan, kebanyakan menjawab menulis diary sebagai sebuah pelampiasan. Diary dianggap sebagai teman yang bisa menampung segala keluh kesah, tanpa pernah marah ataupun menggurui. Saya sendiri mulai menulis diary sejak kelas 1 SMP saat ada tugas bahasa indonesia, lalu di kelas 2 SMP saya tidak peduli lagi.
Mungkin anda bingung, bagaimana diary yang hanya berupa lembaran kertas bisa menjadi teman bagi manusia ? Begini, memiliki diary berarti membuat kita selalu menulis. Artinya, kita akan selalu menyampaikan apa yang kita lihat, dengar, alami, serta rasakan ke dalam bentuk tulisan. Aktivitas membaca kembali catatan yang sudah kita tuliskan, sebenarnya adalah cara sederhana untuk mengenali siapa diri kita. Lebih jauh lagi, dengan menulis diary, sebenarnya bisa menjadi semacam terapi untuk mengatasi kecemasan .
Diary itu
seperti cermin buat diri kita. Logikanya, dengan menulis, kita berarti mencoba
melepaskan apa yang kita alami ke dalam sebuah tulisan. Misalkan anda sedang
memikirkan kenapa tadi anda tidak bisa menghasilkan ide cemerlang ketika rapat
di kantor. Padahal anda yakin kalau anda mampu melakukan itu. Nah, cobalah
ambil pulpen, kemudian tuliskan apa yang anda alami dan rasakan selama rapat
tadi. Cobalah menulis secara kronologis. Tapi nggak usah terlalu banyak memilih
kata-kata, cukup tuliskan aja. Kalau sudah selesai, letakkan sejenak tulisan
anda. Kemudian silakan baca lagi. Saya tidak menjamin, tapi kemungkinan besar
anda akan dapat menemukan alasan kenapa tadi anda bisa buntu ide.
Nah, menulis
diary seperti meletakkan sebuah peristiwa keluar dari diri kita. Kita kemudian
bisa melihat peristiwa itu secara objektif, tidak lagi dari sisi ‘aku’.
Peristiwa yang hanya kita kenang dalam pikiran, cenderung akan menjadi bias dan
penuh penilaian yang subjektif. Saya pikir, menulis diary adalah salah satu
media latihan untuk mengasah kemampuan menulis. Proses menulis diary cenderung
terbebas dari faktor ingin dikenal dan dipuji orang lain.
Memang saat
ini banyak orang yang menjadikan kisah hidup mereka sebagai santapan pembaca
lewat blog atau media sosial lainnya. Tapi saya kira sebagian besar penulis
diary menyimpan kisah mereka untuk konsumsi pribadi. Jadi, menulis diary adalah
latihan yang baik untuk mengasah kepekaan melihat dan memberikan penilaian
terhadap sebuah peristiwa. Kelak anda akan sangat menikmati ketika membaca
halaman demi halaman kisah hidup yang sudah anda tuliskan. Percayalah, saya
sudah membuktikannya !!
Yuk mari
menulis diary!
Selamat menulis :)
0 komentar:
Posting Komentar